“Yang baru jadian, lengket terus” ejek salah satu teman,
kami berdua hanya menjulurkan lidah sambil tersenyum. Sudah dua minggu kami
berpacaran, hubungan yang sebenarnya hanya sebatas hubungan.
Hari ini sekolah terlihat santai, setelah ujian semester
yang kami laksanakan. Disetiap sudut sekolah terlihat kelompok-kelompok siswa
yang asik dengan kegiatannya. Kami ikut membentuk kelompok dan memilih kantin
untuk berkumpul dengan yang lain, makan menjadi tujuan utama tentunya.
“hari ini kita nonton yuk” ajak Tyo, salah satu teman kami
saat sedang menunggu pesanan.
“boleh tuh, film nya seru-seru gak nih?” tanggap Dion, dia
alah pacar ku.
“em, adek gw baru nonton kemaren. Katanya sih ada film
komedi, seru ada petualangannya juga. Tapi gw lupa apa judulnya”
“oke deh, gw setuju” semua setuju untuk acara nobar (baca:
nonton baren). Meskipun hari ini bebas dari mata pelajaran, kami bisa keluar sekolah
tetap sesuai jadwal, menghindari OTS (baca: Operasi Tertib Siswa).
***
Hari ini bioskop terlihat ramai, maklum hari pertama siswa
SMA selesai mengadakan ujian semester. Sepertinya semua ingin meghilangkan
kejenuhan dari ujian kemarin. Sesuai saran dari Tyo, kami memilih film komedi
yang dia rekomendasikan. Setengah jam kami menunggu film dimulai, tidak sia-sia
filmnya sangat menghibur dan bisa menghilangkan stres.
“ayoo makaan” ajak ku dengan semangat setelah keluar teather.
“ayooooo” mereka semua menjawab dengan semangat dan kompak.
Dion menggandeng tanganku selama kami berjalan, saat kami
menonton dia juga melakukannya. Terkadang kami saling pandang dan tersenyum
tipis, benar-benar menandakan kami adalah pasangan baru.
Aku menyukainya karena dia tidak terlalu suka berbicara, itu
membuatku penasaran. Tapi semenjak berpacaran denganku, dia menjadi sedikit
suka bicara, menurut teman-teman. 2 tahun kami satu sekolah, selama dua tahun
pula kelas kami berdampingan tapi tak pernah sedikitpun kami saling sapa. Saat
naik kelas 12, kelas diatur ulang, dan kami menjadi satu kelas.
Di hari pertama kami dengan suasana kelas baru, disana aku
melihat dia dengan jelas. Rapih menggunakan seragam putih abu-abu, dasi
menggantung dilehernya, ikat pinggang sedikit terlihat melingkari pinggangya,
tangan kirinya dengan santai menyampirkan ransel hitam di pundak tanpa ia kenakan.
Dia masuk kelas sambil mengehembuskan nafas dan menggaruk kepala. Dia menyapa
salah satu teman berharap bisa bergabung duduk bersama, tapi ditolak mentah,
aku tersenyum melihatnya.
Aku ikuti dia memandang sekeliling, dan pandangannya
berhenti pada kursi disebelah ku. Aku memandanginya dilanjutakan kearah kursi
disebelahku, kursi yang masih kosong. Tepat dipinggir, baris ketiga dari depan
maupun belakang, dekat jendela dan kipas angin, sewaktu-waktu bisa menghindari
pandangan guru (baca: nyaman). Aku kembali memandanginya diseberang sana,
beberapa detik kami saling pandang dengan ekspresi masing-masing.
“Ika, gw duduk sini yaa” sudah ada Rara dihadapan ku sambil
tersenyum, dan memberiku dorongan yang membuatku sedikit bergeser untuk
memberinya ruang memasuki singgasana baru nya.
Rara duduk tepat disebelahku, lalu dia, aku melihat
kearahnya, tapi tidak ada. Aku mencari sekeliling kelas, dan mendapati dia
sudah duduk dibaris keempat diseberang sana. bersandar pada kursinya, dan
kembali menghela nafas panjang. Dia melihat kerahku, memandangku, mengangkat
tangan kanannya, seperti memberi isyarat kalau dia ada disana dan baik-baik
saja. Sempat bingung dan melihat arah kanan kiri depan belakang mungkin dia
melakukan itu untuk yang lain, tapi tidak,salam itu memang untuk ku. Aku tersenyum kearahnya, dia sedikit
tersenyum dan menurunkan tangannya. Itulah komunikasi awal kami.
***
“La, kamu gak papa makan itu?” tanya Dion, karena melihatku
hanya makan salad.
“gak papa, kalo gak gara-gara anak salah gaul ini” kesalku
pada Tyo, jahilnya dia memberi sambal pada bakso yang seminggu lalu kami makan,
membuatku tidak bisa mengonsumsi apapun kecuali sayur, dan itupun sayur dengan
pengolahan yang sederhana.
“makan aja Ka, gak papa kali” balas Tyo dengan santai, dan
mendapat jitakan dari Dion.
Kami semua tertawa melihat wajah cemberutnya karena
merasakan sakit, dan tentu saja aku yang paling puas disini.
Dion dan Tyo sudah berteman sejak awal masuk SMA, karena
perbedaan karakter mereka. Dion yang tidak terlalu banyak bicara dan Tyo yang
sangat cerewet dan jahil. Entah berawal dari mana, tapi yang pasti mereka
selalu bersama.
Saat masuk kelas 12 dan perubahan susunan kelas, Tyo dan
Dion terpisah tapi tidak dengan pertemanan mereka. Tyo sering datang ke kelas
kami, dan sering kali guru-guru mengusirnya, itu tak membuatnya jera.
Hari itu kepala sekolah dan para wakil mengadakan rapat,
guru kami yang juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah tentu mengikuti
rapat, dan kami mendapat tugas kelompok. Kelompok tentukan masing-masing
beranggotakan 6 orang, jam pelajaran selesai tugas dikumpul. Aku, Rara dan dua
teman didepan kami setuju menjadi satu kelompok. Datang Dion dan teman
sebangkunya dalam kelompok kami.
“kita gabung kalian ya?” pinta Geo, teman sebangku Dion.
Kami semua setuju, diskusi dimulai, Dion tidak bersuara, dia hanya mengangguk –
menggeleng – menunjuk tulisan-tulisan dibuku materi yang menurutnya itu
jawabannya. Sebenarnya aku berharap bisa mendengar suaranya. Melihat dia
tersenyum, menghela nafas panjang, menopang dagunya dimeja, itu sudah terlalu
sering untuk ku – karena sering memperhatikan dia – tapi tidak dengan suaranya.
“oke, selesai. Siap dikumpul” suara nya keluar, aku terkejut
mendengar suaranya, sedikit serak dan berat tapi terdengar manis. Sambil tersenyum dia berkata, mengangkat kertas tugas
kami. Aku pandangi dia yang tersenyum kearah kami semua, dia berdiri menuju
ketua kelas untuk mengumpulkan tugas, aku tersenyum mendengar suara pertamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar