“Ka,udah bangun?”
Perlahan aku membuka mata, samar
tak jelas pandangan yang aku dapatkan.
“hai Ka, udah baikan?”
Semua terus menyapa ku, semakin
jelas apa yang aku lihat. Aku masih dirumah sakit dan orang-orang yang
mengelilingi, Bunda, Vina, Ika. Muncul dokter bersama suster dengan senyuman
ramah.
“gimana Ika, udah jelas ngeliat
nya. Udah sehat kan sekarang?” aku sedikit mengangguk. Dokter menjalani
pemeriksaan, badan ku lebih mudah
digerakan sekarang. Aku bisa menggerakan tangan juga kaki, tapi terasa sakit
pada leher.
“oke, udah sehat kok. Saya
permisi dulu ya” dokter berpamitan pada ku
“Ibu bisa ikut saya sebentar”
dokter itu kembali mengajak Bunda
. Mereka keluar dari ruangan perawatan.
. Mereka keluar dari ruangan perawatan.
Vina dan Ika memandangi ku dengan
seksama, aku hanya membalas tatapan mereka tanpa bicara. Tak ada yang ingin aku
bicarakan, aku hanya diam, mereka seperti ya juga tak ingin banyak bicara
karena sejak tadi hanya memandangi ku terkadang mereka saling pandang. Aku memandagi
sekeliling jangkaun mata ku, ini benar-benar rumah sakit dan aku tidak suka.
“kamu gak mau tanya sesuatu dek?”
aku menggeleng pelan, Vina mengangguk canggung.
“seneng liat kamu udah bangun”
“iya Ka, gw juga seneng banget”
aku hanya tersenyum tipis, mereka saling pandang dan tersenyum canggung.
Kami saling diam, aku melihat
mereka merasa tak nyaman. Aku juga merasa tak nyaman, tapi aku tutupi itu, aku
berusaha tenang. Mereka terus saling pandang dan melemparkan pandangan aneh,
seperti ada yang ingin mereka sampaikan tapi selalu mereka tunda.
***
Yang aku tahu, ini sudah hari
ketiga berada dirumah sakit. Kesehatan ku semakin membaik, tiga hari berada di
rumah sakit Dion tidak juga menjenguk. Dion tidak juga menjenguk justu membuat
ku ingin cepat sembuh.
Selama dirawat aku tak banyak
bicara, sepertiny itu cukup membuat keluarga dan Rara khawatir. Aku tak
memperdulikan nya, yang ada dalam fikiran ku saat ini adalah sembuh dan bertemu
Dion.
“Ka, barusan Bunda ketemu dokter,
besok kamu udah bisa pulang. Tapi tetep harus istirahat dulu beberapa hari
dirumah” aku mengangguk kecil tak sabar ingin segera pulang. Aku tak pernah
bertanya lagi mengenai Dion pada mereka, merekapun tak pernah ingin
memabahasnya.
“besok anter Ika ketemu Dion” tenang
dan yakin aku mengucapkannya. Mereka semua menatap kearah ku dengan kaget,
memasang wajah terkejut juga bingung.
“kan kata dokter istirahat dulu
Ka” aku diam tak merespon kalimat Bunda.
***
“wah, selamat ya mba Ika udah
bisa pulang. Jangan lupa istirahat, jangan sedih terus dia udah tenang kok”
kalimat suster terpotong dengan terkejut. Aku memandang nya heran, mengangguk.
“yaudah ayo kita pulang” aku
mengangguk.
“langsung tempat Dion Bun, ada
yang mau Ika omongin sama Dion” mereka kembali canggung. Perasaan ku saat ini
kacau, entah apa yang aku rasakan saat ini setiap kali menyebut nama Dion
bermacam rasa yang aku alami dan memikirkan banyak hal.
“Ika bener-bener minta dianterin
temapt Dion Bun, gak bakal lama kok” Bunda mengangguk canggung dan ragu.
Selama perjalan aku kami tetap
diam, aku memandang keluar jendela melihat kendaraan berlalu lalang. Lama
kelamaan kendaraaan itu tak benar-benar aku perhatikan, banyak yang aku
fikirkan, banyak yang aku rasakan. Tanpa sadar air mata melewati kelopak mata,
turun ke pipi ku dengan perlahan yang berubah menjadi deras. Aku mulai terisak
pelan, entah apa yang aku tangisi tapi aku terus menangis mereka tidak berusaha
menenangkan, mereka semua diam.
Mobil sudah berhenti aku tidak
mengetahunya hingga Rara menepuk lembut pundak ku. Aku menoleh, Rara menatap ku
tersenyum sedih sambil mengusap air mataku dengan tisu.
“turun yuk, udah sampe”
Aku melihat keluar, aku diam tak
bisa berkata apa-apa. Dalam diam aku membuka pintu, keluar dari mobil tanpa
berkata apapun. Perasaan ku mulai kacau, pandangan ku mulai kabur, air mata
kembali menutupi pandangan ku.
“Dek” Vina memegang pundak ku
dengan lembut.
Aku terus berjalan, Vina menuntun
ku menunjukan arah. Setetes air mata mulai jatuh, Rara mengelap dengan tisu.
“kita pulang aja yuk, besok
kesini lagi. kamu belum sehat dek” Vina mencoba mengajak pulang, tapi aku terus
berjalan.
Ditemani Vina dan Rara aku
berjalan, Bunda tetap di mobil sendiri. Kami sampai dan aku tetap berdiri,
semua terlihat jelas di mata ku.
“Ka, loe gak papa” Rara terdengar
khawatir.
Marah aku menyaksikan yang ada di
hadapan ku, kecewa aku saat ini. Aku tetap berdiri dan bertahan, aku tak ingin
terlihat lemah. Vina terus memegangi ku dan semakin terlihat khawatir. Aku
pandangi semua denga jelas, lima menit berlalu aku pergi dari tempat itu dan
kali ini tak lagi di tuntun Vina. Aku memilih jalan sendiri, aku melihat Vina
dan Rara yang merasa panik khawatir, melihat aku yang sejak tadi memasang
ekspresi marah.
“kita pulang Bun” nada marah
terbaca dari suara ku, tapi Bunda tak banyak komentar, langsung menghidupkan
mobil dan pergi.
***
Dion sudah tak bersama dengan ku,
dia sudah tidak lagi ada di sisi ku. Esok nya, aku kembali kesana, sendiri,
memberanikan diri.
“jadi Cuma kayak gini aja, Cuma
gara-gara aku gak bisa jalan normal, kamu ninggalin aku. Pengecut!” aku mulai
bicara dengan nada marah.
“kamu kira hebat kamu kayak gini,
jadi ini yang kamu tiap hari dateng ke mimpi aku. Bilang gak usah cari kamu
lah, fikirin kamu lah, apalah itu!” aku semakin marah dan suara ku bergetar.
“Ika udah cerita semua nya, tapi
aku gak mau denger alesan itu. Yang aku tahu kamu pengecut!!”
“kamu gak mau berjuang buat semua
ini, jadi kamu aku yang naggung semua sendiri. kamu tinggalin aku gitu aja.
Dasar pengecut, orang yang selama ini bisa ngelakuin apa aja. Tapi kenapa
sekarang gak, kenapa kamu gak bertahan. Bodoh” aku terus berteriak di depan
nisan Dion. Tak ada air mata yang keluar meskipun saat ini aku merasa sedih.
***
“Dion pendarahan di otak, kita
mencoba transfusi. Dia udah kehabisan banyak darah, jadi dia gak bisa bertahan.
Dia sempet nitip pesen buat loe, dia tanya keadaan loe. Setelah dia tau, dia
minta maaf dan suruh gw untuk sampein maaf nya dia ke loe. Maaf karena gak
ati-ati, juga bikin loe celaka” dengan hati-hati Ika bercerita kepada ku. Aku
tak sedikit pun menatap kearah nya, aku hanya duduk di tempat tidur ku menatap
lurus kedepan, Ika di meja belajar yang ada disamping tempat tidur dan menatap
kearah ku.
***
“kenapa kamu tiba-tiba bilang
kayak gitu, kamu baru sadar kalo aku keren jadi pengen liatin aku terus”
“gak, justru aku baru sadar kamu
itu gak ada keren-keren nya. Kenapa aku bisa suka, jadi aku pengen sama kamu
sambil mikir, apa yang harus aku lakuin buat kamu”
“maksud nya?”
“iya, kalo kamu keren ya aku mau
tetep sama kamu tapi kalo gak keren...”
“kalo gak keren kenapa?”
“aku...”
“aku, kenapa?”
“aku masih mau sama kamu, aku
sayang kamu”
“I love you” Dion memandang
kearah ku
“Love you too” aku juga memandang
nya, menatap mata nya.
Cahaya terang itu datang kearah
kami, itu lampu depan mobil pickup yang datang kearah mobil kami. Cahaya itu
datang tidak stabil semakin mendekat, dan kegelapan muncul dalam ingatan ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar