Rabu, 24 Oktober 2012

Mendung setelah Hujan.


Lembab nya kota tak bisa dihindarkan, hujan yang tumpah cukup membuat kota berubah suasana. Menyisakan genangan air keruh pada jalan berlubang. Semua orang yang sejak tadi berteduh, kini mulai melanjutkan perjalan. Salah satu diantara orang-orang itu ada Zea, gadis berusia 20 tahun, yang terlihat sama lembabnya seperti suasana kota siang ini. Zea, yang selalu sendiri, tak banyak bicara, wajah datar, lebih memilih memandang kebawah, rambut hitam bergelombangnya dibiarkan terurai, kulit sawo matang, dan pandangan mata nya yang tenang. Dingin dan lembut.
***
“pagi Ze” sapa salah satu teman, sesampainya Zea di kelas. Dia balas dengan mengangkat tangan kanannya di depan muka.
Mencari tempat duduk yang masih kosong, dan langsung mendaratkan tubuhnya. Suasana kelas juga lembab, belum banyak penghuni dalam ruangan itu. Hujan yang membuat para penghuni belum memunculkan diri. Dosen pun yang seharusnya datang sejak 10 menit yang lalu belum menampakkan diri.
Setelah mendaratkan diri di atas kursi, Zea memilih untuk menyandarkan punggung ke sandaran kursi – dengan wajah datar – mengetukan jari telunjuk pada meja dengan pelan. Suara yang dihasilkan dari ketukan jari itu, senada dengan bunyi sisa hujan yang menetes dari atap dan mendarat permukaan yang ada di bawahnya.

***
Perkuliahan usai, suara riuh terdengar diseluruh penjuru kelas. Suara gesekan kursi, obrolan antar teman – dengan topik berbeda disetiap rombongan, barang jatuh saat dirapihkan, langkah kaki, gesekan sepatu, semua membaur. Zea menyandangkan tas pada pundak, melangkah pelan – memandang kebawah, meninggalkan kelas.
Bip bip, nada dering Zea. Dia merogoh kantung kecil di tasnya, ada panggilan masuk.

DOPAN called...

“kenapa?” tanya Zea datar, tanpa halo
“buru-buru amat, gua ada perlu nih sama lo. Balik ke kelas lagi ya, oke.”
Hubungan terputus.

Memasukan hape pada tempatnya, Zea melangkah kembali ke kelas – dengan wajah datar – tak ada penolakkan atau pun kejengkelan yang tergambarkan dari ekspresinya.
Sampai kembali ke kelas, Zea memandang sekeliling, mencari keberadaan Dopan, menghampirinya, dan bediri tepat di depan meja Dopan. Dopan mendongak dari aktifitasnya mencoret-coret kertas.
“udah jauh? Kok lama sampe ke sini nya?”
“tangga setelah koridor” jawab Zea datar
Dopan mengangguk-angguk, lalu dengan cepat menyodorkan kertas yang sejak tadi dia coret-coret.
“tugas tambahan gua, karena gak masuk kemaren. Gua baru inget kalo itu harus dikirim lewat email sekarang. Bantuin gua ya” tangan Dopan menelangkup memohon.
Kertas yang berisikan coretan itu kini berada di tangan Zea. Dia mengambil salah satu kursi, dan mendekat ke meja Dopan. Membaca soal yang diberikan, diam sejenak – wajah tetap datar – melihat kearah Dopan, lalu mulai menuliskan rangkaian kata dengan rapih – pada kertas baru.
Dopan pria jangkung, putih, dengan rambut lurus agak pirang. Orang yang bisa mengimbangi pribadi Zea. Dia pria yang ceria, selalu banyak bicara untuk mengisi diamnya Zea.  Dopan selalu berusaha untuk melakukan apa pun bersama Zea.
Sepuluh menit berlalu, kelas sudah mulai sepi. Hanya ada Dopan, Zea dan tiga teman mereka – dengan kegiatan mereka. Zea masih menuliskan rangkaian kata, kertas hvs ukuran A4, yang awalnya masih putih bersih, kini penuh dengan tulisan tangan Zea. Dia belum juga berhenti, hingga membalik halaman. Setelah sekian menit, dia berhenti di setengah halaman. Memandang sebentar tulisannya, lalu menyerahkan pada Dopan – dengan wajah datar.
Kini wajah Dopan berseri-seri, melihat kertas penuh tulisan itu. Tersenyum bahagia memandang Zea, dan kembali memandangi kertas penuh tulisan Zea. Zea beranjak dari tempat duduk nya dan bersiap untuk pulang, lagi.
“eh, mau kemana?” Dopan bertanya dengan nada terkejut.
“pulang” Dopan diam sejenak mendengar jawaban Zea, tapi selanjutnya dia menangguk-angguk paham.
“makasih ya” ucap Dopan sambil tersenyum bahagia, kelegaan kentara pada wajahnya.
“kenapa ditulis di kertas dulu, kalo tugas nya dikirim lewat email?” tanya Zea datar. Dopan memandang Zea dengan senyum yang tanggung, antara bahagia dengan tugasnya “yang sudah kelar” dengan kalimat tanya dari Zea.
“Zee... kenapa gak ingetin dari tadi? Kenapa baru sekarang? Lo sengaja ya?” Dopan mengeluh lemah setelah paham maksud kalimat tanya Zea.
Zea hanya mengedikkan pundak – tetap dengan wajah datar. Dopan mendesah kesal dengan sikap Zea.
***
“boleh pinjem hape?” tanya Zea pada orang yang ada disampingnya.
Orang itu menoleh heran, sambil tangan menyerahkan handphone miliknya pada Zea. Zea mengambil tanpa menunggu lama, menekan keypad-keypad yang ada, lalu menempelkan hape itu pada telinga. Beberapa detik kemudian, dia menoleh mencari-cari sesuatu. Orang yang ada di sebelahnya ikut menoleh kesana kemari tanpa tahu yang dicari. Zea berdiri dari kursinya, masih mencari-mencari. Nada tunggu telah habis, suara operator menginformasikan pada Zea, dia tak mengubris. Dia batalkan panggilan, lalu kembali memencet tombol ‘Dial’, menoleh kesana kemari. Lagi.
“nyari apa sih?” tanya orang yang tadi ikut mencari-cari
“hape” jawab Zea datar, sekarang dia berjongkok.
Orang-orang lain yang ada dikelas itu, yang mendengar percakapan mereka – Zea dan Orang yang tadi ada disebelah Zea- ikut mencari-cari.
Pada panggilan ketiga, setalah beberapa detik, Zea melihat sinar dari suatu sudut. Dia mendekat, dengan handphone tetap di telinga. Setalah dekat, dia yakin itu handphone miliknya. Tepat berada di belakang kursi, yang sekarang sedang diduduki seseorang. Zea berjongkok di samping kursi, tangannya menjangkau handphone. Handphone sudah ada di tangannya, Zea ‘reject’ panggilan pada handpone nya. Masih terjongkok - dipandangnya handphone itu- layaknya sebatang emas, dan menampilkan ekspresi baru diwajahnya.
Zea bangkit dari jongkok nya, dan memandang orang dihadapannya – yang duduk dikursi tempat handphone nya tersembunyi- mata nya mengerjap heran. Orang itu pun mengerjapkan mata dengan heran. Zea berlalu dan mengembalikan handphone pada sang pemilik.
“makasih” datar Zea mengucapkannya, tapi ada nada tulus di dalamnya.
“sama-sama. Lain kali hati-hati, jangan teledor”
Zea balas nasihat itu dengan anggukan.
“Dopan” santai orang itu mengucapkan nama, memperkenalkan diri.
“Zea”
***
“An, gua hari ini perform di Cafe La Cita. Dateng ya”
“asik, jadi gua malem mingguan sama lo dong. Siap gua pasti dateng. Jangan lupa sekalian ditraktir, gua siapin perut kosong nih...”
Zea memutuskan sambungan, suara Dopan terputus. Zea mendesah heran pada Dopan.
‘Satu kalimat gua dan Dopan bakal bikin satu paragraf’ batin Zea.
***
Dopan melambai pada Zea yang sudah ada di atas panggung. Zea balas dengan anggukan dan tangan kanan terangkat. Zea terkejut saat melihat ternyata Dopan tidak datang sendiri, dia bersama beberapa orang – teman sekelas kami.
Beberapa menit kemudian, Zea menyapa seluruh pengunjung. Setelah sapaan itu, Zea menghampiri grand piano berwarna hitam dan duduk di depannya. Dua detik kemudian, jari-jarinya mulai menyentuh tuts-tuts dengan gemulai. Memainkan nada-nada merdu, lembut, menenangkan. Semua pengunjung merasakan ketenangan, dan merasakan indahnya melodi yang dihasilkan. Zea memainkan dua lagu yang indah dengan keindahan pula.
Tepuk tangan memenuhi ruangan setelah Zea menyelesaikan permainannya. Memberi salam penutup pada pengunjung dan berjalan menuruni panggung. Menghampiri meja Dopan dan beberapa teman, semakin dekat, membuat Zea semakin gugup. Zea sempat gugup, mengetahui Dopan tidak sendirian, tapi saat sudah menyentuh tuts piano semua sirna. Sekarang, tak ada tuts piano yang mampu menenangkannya, dia hanya terus berjalan dan berusaha bersikap biasa.
“ini dia pianis kita, Zea” Dopan memperkenalkan dengan berlebihan, dan disambut tepuk tangan kecil dari mereka – takut mengganggu pengunjung lain – dan membuat Zea memberikan anggukan untuk mereka – ekspresi datar.
“gua gak nyangka lo bisa maen piano gitu” komentar Ron, cowok playboy di kelas
“lo udah lama bisa maen alat musik itu?” Wita bertanya penuh antusias
 “lo yang gak pernah komunikasi sama kita” Dini menimpali
“lo yang tau-tau dateng, tau-tau pulang” Ron kembali berkomentar
Komentar mereka terus memborbardir, dengan decakan kagum atau juga komentar yang tidak berhubungan sama sekali. Zea melihat Dopan yang hanya cengar-cengir, dan Zea hanya bisa berpaling dari satu orang ke yang lain untuk meladeni ucapan mereka. Wajah datar terpancarkan, tanpa membuka mulut, Zea meladeni mereka dengan menoleh dari satu orang ke yang lain.
“mau pesen apa?” akhirnya Zea mengeluarkan suara setelah mereka behenti berkomentar dan memanggil pelayan.
Mereka memesan makanan, Zea memperhatikan mereka satu persatu. Zea memandangi Dopan yang ada disebelah kanannya, menampilkan ekspresi penuh tanya, Dopan membalasnya dengan senyuman senang.
Zea kembali memperhatikan temannya satu persatu, yang belum pernah dia lakukan di kelas. Meskipun Zea jarang berkomunikasi dengan teman-temannya, dia cukup tau nama mereka semua – meskipun tak pernah dia ucapkan nama-nama itu. Saat Zea berada dikelas, jika membutuhkan teman, dia akan langsung menghampirinya – dan tak menyebut namanya- Zea akan langsung berdiri di depan orang itu lalu berbicara atau menyenggol pundaknya lalu berbicara.
“walaupun rambut kamu di ikat, tetap indah ternyata”
Zea menoleh mendengar komentar dari orang yang ada di sebelah kiri. Zea mengerjap heran kearah orang itu, orang itu hanya balas memandang Zea. Zea semakin menolehkan kepalanya pada orang itu, dan orang itu memamerkan senyumnya.
“Ega, lo mau pesen apa?” tanya Dopan pada orang di sebelah kiri Zea. Yang membuat Zea menghilangkan keheranannya sesaat.
“kita harus lebih kenal lo nih. Siapa yang sangka ‘cewek es’ kelas kita, berubah jadi bunga yang cantik kalo lagi main piano” ucap Rio dengan santai.
Mendengar ucapan Rio, yang lain tertawa dan menyetujuinya.
***
sekarang Zea berada di kantin bersama beberapa teman – yang menonton penampilan Zea – menikmati makan siang, yang dipenuhi dengan candaan dan tawa – kecuali dari Zea. Semenjak kehadiran mereka di cafe, membuat mereka sering mengajak Zea makan bersama dan mengobrol bersama. Bahkan beberapa kali mereka menyempatkan diri untuk menyaksikan penampilan Zea, dan sudah berlansung dua bulan ini. Secara tidak langung kedekatan terjalin.
Dopan senang dengan perubahan yang dijalani Zea. Selama ini hanya Dopan yang terlihat dekat dengan Zea, sekarang sudah banyak teman yang bergabung. Sikap diam Zea membuat teman yang lain menjaga jarak dengan nya. Tapi sekarang sudah banyak yang bisa mengerti pribadi Zea yang diam.
Senyum Dopan mengembang melihat keberadaan Zea bersama di lingkungan barunya, meskipun belum maksimal, tapi ini lah Zea. Tak ada yang bisa merubah pribadinya, diam.
“Ze, nti pulang sama gua ya” ajak Dopan, yang dari nadanya tidak memerlukan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Zea mengangguk pelan.
“kalian berencana pergi ke suatu tempat?” tanya Ega dengan hati-hati
“iya, gua kangen berduaan sama Zea” senyum Dopan merekah.
“berduaan?” suara Ega lirih
“mengulang masa-masa yang tadinya cuma gua yang Zea punya” jawab Dopan dengan jenaka, sambil merangkulkan tangannya pada pundak Zea, tanpa ada penolakan dari Zea. 
***
“kemaren kemana aja sama Dopan?”
Zea menoleh kesumber suara, dan mengerjap heran.
“kerumah Dopan” singkat
“ngapain?” ada rasa penasaran dan panik di dalam tanya nya
“dijelasin semua?” Zea balik tanya
“global nya aja”
“ngobrol”
Dia kecewa dengan jawaban Zea.
“yang lebih spesifik lagi”
Zea mengernyit sebentar kearahnya.
“ngrobrol, makan, nonton film, tidur”
“nonton film? Tidur?” terkejut
 “spesifiknya, nonton film kartun, ngobrol untuk penampilan besok, baru tidur entah mimpi apa”
Ekspresi penasaran dan khawatir terpancar saat Zea menoleh kearah nya. Entah karena apa, tapi Zea melanjutkan ucapannya – untuk memperjelas.
“tidur di kamar mba nya, Dopan gak tau kemana”
Senyum memancar dengan kelegaan dari Ega, tanpa disadari Zea menampilkan ekspresi baru. Ega mengerjap heran ke arah Zea, diikuti dengan Zea yang juga mengerjap heran.
Entah sejak kapan Zea merasa ada yang beda saat bersama Ega, orang yang saat ini ada disamping nya. Tatapannya yang tenang, wangi nya yang selalu segar, wajah nya yang menampilkan kecerdasan dan ketegasan.
“hubungan kalian itu apa sih?”
“banyak”
“maksudnya?”
“banyak ungkapan untuk jelasin hubungan kami”
Ega merasa cemburu dengan ucapan Zea.
***
Zea merasa terganggu dengan pandangan orang yang ada di sebelahnya. Beberapa waktu berlalu masih bisa ditoleransi, tapi frekuensi dia menoleh ke arah Zea makin sering. Zea menoleh berusaha mengangkap pandangan orang yang ada di sebelahnya, tapi dia menghindar. Dua menit kemudian, Zea menoleh secepat mungkin, tapi orang itu tetap menghindari pandangan Zea. Karena sudah merasa frustasi Zea memilih untuk menoleh kearahnya terus menerus, dan memandangi dia yang tertunduk memandangi makanan di depannya. Satu menit berlalu – dua menit berlalu – tiga menit berlalu – dia tidak kuat, mengangkat wajah dan menatap Zea. Dia menatap dalam kemata Zea, Zea yang tidak siap, mengerjap beberapa kali karena kaget dan berusaha mengontrol diri.
“kenapa waktu itu yang dipinjem hape Dopan bukan aku?” pertanyaannya lembut dan sarat rasa penasaran.
Zea bingung dengan maksud pertanyaann itu, sambil otak nya bekerja dan menemukan jawabannya.
“karena Dopan sejajar barisannya”
“Dopan itu selang dua kursi dari tempat kamu, sedangkan kearah aku satu kursi” balasnya masih dengan penasaran.
Zea mencoba mengingat-ingat kejadian hari itu. Benar saja, di hari itu Zea, Dopan dan Ega berada dibarisan paling belakang. Selang dua kursi di sebelah kiri Zea ada Dopan, selang satu kursi di sebelah kanan ada Ega. Dan Zea coba mengingat lagi kegiatan mereka. Dopan sedang santai memainkan pena di atas kertas dengan sembrono, sedangkan Ega fokus membaca buku yang ada di atas meja nya.
“kamu kan lagi baca buku waktu itu” belaku scepatnya
Ega mencoba mengingat, dan dia mengangguk pelan.
Ega mendesah pelan, tapi Zea bisa mendengar nya dan langsung menoleh ke arahnya.
“tapi gak apa apa, kalo kamu pinjem hape aku, terus liat kamu gupek liat sana – sini pasti ikutan cari. Nah,kalo aku ikut cari, dan kamu nemuin hape itu terus posisi aku di belakang kamu kaya Dopan waktu itu. Pasti aku gak bakal liat senyum kamu” dengan santai dan lembut Ega berucap tanpa melihat kearah Zea, hanya menerawang kedepan seperti sedang menggambarkan apa yang diucapkannya.
Zea terkejut dengan ucapan yang dilontarkan Ega.
“senyum? Aku senyum?” Zea sendiri tidak ingat
Ega menangguk yakin, dan kini menoleh kearah Zea. Zea langsung merasa lemas melihat tatapan Ega, yang memberi keyakinan atas ucapannya – tatapan tulus dan sebenar- benarnya.
Tatapan tulus dan sebener-benar nya yang Ega tampilkan, setiap kali membuat pernyataan dan berusaha meyakinkan Zea keabsahannya. Akan membuat Zea benar-benar merasa lemas, terpesona dan terhipnotis.
***
Hujan sudah reda setelah beberapa menit mengguyur kota ini, dan membuatnya nampak lembab, ada air dimana-mana. Hari itu Zea dan Ega pergi ke toko alat musik, dan harus berjalan kaki untuk menuju parkiran kendaraan mereka. Hujan yang tadi menghalangi kepulangan mereka, sekarang sudah mereda.
“pendiam, berekspresi datar, dingin, rambut hitam yang selalu terlihat segar, indah – bagai mendung sesudah hujan - dingin, redup tapi lembut” ucap Ega dengan lembut sambil menggandeng tangan gadis di sebelah nya. Menatap kearah gadis itu sebentar dengan tersenyum. Berjalan keluar dari depan ruko tempat mereka berteduh, tetesan gerimis pun menyambut mereka dengan lembut.
Zea yang mendapat tatapan itu, terpana, dan membiarkan tangan yang menggandengnya, membawanya. Kehangatan menjalar ditangan Zea. Gerimis kecil yang masih tersisa menyentuh tangan mereka, membuat mereka makin menikmati kebersamaan itu.
***
“jadi, bukan gua yang ngerubah hati lo?” tanya Dopan tiba-tiba.
“gua pikir, lo udah nyaman sama gua. Gua pikir, cuma gua yang bener-bener bisa ngertiin lo. Gua pikir, lo bakal selalu sama gua. Gua pikir, huh” Dopan mendesah lemah, dengan perubahan hubungan dia dan Zea.
Zea tetap bergeming sambil menatap ke depan. Melihat kearah dosen yang sedang menuliskan rumus dan menjelaskan dengan semangat. Dopan yang melihat Zea tidak menggubris ucapannya, merasa kesal, dan memprotes.
“Ze, denger gak sih?!” ucap Dopan dengan kesal dan sedikit keras
“KAMU YANG DENGER GAK PENJELASAN SAYA?!!” gertak dosen kami.
Dopan kaget dan panik, dia diam tak menjawab, hanya memandang kebawah dengan sedikit melirik ke arah dosen. Beberapa detik kemudian perkuliahan dilanjutkan, Dopan semakin tidak semangat, dia sandarkan diri dan mencoret-coret pada kertas dengan kacau.
***
Cafe de Amor, Zea akan tampil dan menghibur pengunjung dengan permainan piano nya. Dopan datang dengan setengah hati, karena tau Ega juga datang untuk menyaksikan penampilan Zea. Malam ini Zea menggunakan dres berwarna krem, membuat dia terlihat lembut. Alunan merdu yang dihasilkan permainan piano nya mendukung keindahan Zea berada di depan gran piano.
“apa yang lo suka dari Zea?” tanya Dopan pada Ega yang tenang melihat kearah Zea. Pertanyaan itu membuat Ega menoleh dan mengangkat alis dengan pandangan bertanya.
“gua cuma tanya aja, gak di jawab juga gak papa” Dopan berusaha meralat, meskipun benar-benar mengharapkan jawaban. Dopan melirk ke arah Ega yang kembali melihat ke arah Zea. Dopan gelisah memainkan jari telunjuk nya pada bibir gelas di hadapannya.
“mendung setelah hujan” Ega tiba-tiba berkata dengan lembut, masih sambil memandang Zea di depan sana. Dopan mengernyitkan alis, karena tak paham juga samar mendengar ucapan Ega.
“Zea itu, kayak mendung setelah hujan, itu menurut gua” jawab Ega santai penuh kehangatan
Kata-kata Ega membuat Dopan terkejut, secara tiba-tiba dia bisa merasakan suasana mendung setelah hujan itu.
“jadi lo beneran suka ya sama Zea. Oke kalo gitu, ternyata emang lo yang lebih ngerti Zea dibanding gua. Yang gua tau Zea itu, anak cewek yang butuh perhatian. Dan gua pikir selama ini gua udah bisa menuhin semua keinginan dia, dengan selalu ada buat dia. Bikin dia kenal sama teman yang lain, bikin dia lebih banyak kumpul bareng temen. Ternyata bukan itu yang dia mau. Zea tetep Zea, pribadi yang dingin tapi lembut. Jadi itu yang lo baca dari Zea, Ga”
“gua yang udah lebih lama kenal Zea, deket sama Zea. Gak pernaha bisa ngerasain sedalem itu Ga” suara Dopan tenang, tapi gelisah di dalam.
“gua juga gak tau kenapa bisa berpikiran kayak gitu” Ega tersenyum.
Dopan semakin gelisah memutarkan jari nya di bibir gelas, sesekali dia angkat gelas itu dan diputar dengan gelisah juga. Zea menghampiri mereka dan langsung duduk. Mengambil gelas yang ada di tangan Dopan dan langsung meminumnya.
“gak makan?” Zea tanya santai
“tunggu kamu” Ega menjawab
“mau makan apa?” tanya Dopan berusaha santai
“sate” datar Zea berkata mengarah pada Dopan
“oke, sate tiga. Gimana?”
Ega mengangguk setuju dengan saran Dopan.
***
Hujan yang turun besar – besaran meninggalkan kelembaban. Kelembaban yang dinikmati Zea dalam diamnya. Kelas sepi, banyak yang memilih untuk tidak hadir, dan sepertinya tak akan ada perkuliahan. Sudah beberapa hari Dopan yang senang berbicara saat bersama Zea, kini hanya ikut diam. Dua mahasisiwa masuk kelas dengan rambut yang sedikit basah. Selang beberapa menit, datang Ega dengan rambut yang basah, dan tetesan air hujan yang masih menempel pada jaket nya. Senyum mengembang melihat ada Zea dan Dopan dalam kelas, berjalan menghampiri mereka sambil menahan dingin.
“kalian udah dari tadi?”
“setengah jam yang lalu” ucap Zea datar tanpa menoleh. Ega mengangguk sambil tersenyum dan memilih untuk duduk di samping Dopan.  Dopan tak bergeming akan kehadiran Ega, dia masih dalam diam.
“hah...” tanpa Dopan disadari, membuang nafas dengan keras.
Ega dan Zea menoleh kearahnya bersamaan, tapi Dopan tidak merasakan tatapan mereka, dia masih asik dengan diamnya. Ega menatap Zea penuh tanya, Zea hanya membalas tatapan Ega dengan datar dan kembali melihat kearah Dopan. Zea menyenggol lengan Dopan, dia terkejut dan langsung menoleh dengan tatapan bingung.
“kenapa?” kalimat itu datar, tapi tulus diucapkan oleh Zea
“kenapa?” Dopan justru balik bertany dengan keheranan
“kamu kayak nya banyak fikiran?” Ega menimpali
“gua?” tanya Dopan sambil menoleh pada Ega
Ega dan Zea mengangguk dengan kompak.
“ah, gak kok cuma capek doang karena hari ini panas banget” Dopan asal menjawab dan berusaha santai.
“di luar hujan An” Zea bingung
“lo yakin gak apa apa Do?” Ega ikut menimpali
“hah, hujan ya? Oh iya, maksud gua dingin, iya bener dingin”
“lo aneh”
“gua? Aneh apanya sih Ze”
“sikap lo”
“kayaknya biasa aja, lo kali yang mikirnya aneh-aneh”
“lo lebih diem”
“gua pengen jadi pendiem juga kayak lo” dengan santai dan berusaha diberi kesan canda
“gua gak suka”
“gua gak minta lo untuk suka, gua Cuma pengan kayak gini aja”
“marah sama gua?”
“kenapa harus marah, lo ngerasa bikin salah gak sama gua?”
“orang suka gak tau suka bikin salah”
“yaudah, anggep aja lo gak ada salah, kalo pun lo ada salah”
“gua gak tenang”
“cerewet banget sih Ze, gua lagi pengen diem, gak boleh. Jadi yang boleh diem Cuma lo, terus bikin cowok ini terpesona sama diem lo itu, sampe jatuh cinta. Dan sekarang lo juga jadi deket sama dia, dan lupa sama gua. Atau mungkin lo malah udah jadian sama dia”
“dan lo juga kayak nya suka sama dia, lo keliatan seneng kalo lagi sama dia. Apa lo udah gak butuh gua lagi, apa lo udah gak mau deket sama gua lagi, apa lo...”
Zea menutup mulut Dopan yang masih ingin berbicara. Dopan diam dan ditatapnya perempuan yang ada di depannya dengan lembut. Zea menatap Dopan dalam diam untuk beberapa detik.
“cemburu?”
Dopan melotot kaget mendengar pertanyaan dari Zea. Ega yang menyaksikan tingkah dua orang itu hanya tersenyum lucu. Dopan mengangguk menjawab pertanyaan Zea.
“jadi?”
Dopan lepaskan dekapan tangan Zea
“gak tau, gua bingung”
“kalian mau ngobrol berdua aja? Gua keluar dulu ya?” Ega mulai merasa tidak nyaman
“gak usah, disini aja”
“tapi Do, lo yakin gak pengen nyelesaiin ini berdua aja?”
Dopan menggelang yakin.
“apa sih Ze, yang lo suka dari Ega?”
Ega terkejut mendengar pertanyaan Dopan pada Zea. Zea hanya memandang ke arah Dopan, dengan sesekali melirik kearah Ega.
“kenapa sih, harus Ega yang bikin lo ngerasa lebih nyaman? Emang gua aja gak cukup?”
Kelas kini semakin lembab dengan pembicaraan mereka. Beberapa orang mencuri denar pembicaraan mereka, sambil terkadang saling berbisik. Tapi mereka tetap melanjutkan komunikasi itu, tanpa terganggu kehadiran orang yang ada disekitar.
“An..” Zea lembut berbicara
“lo gak suka ya kalo cuma gua yang ada buat lo?”
Zea diam, tidak menjawab pertanyaan itu, tapi tangannya menggenggam lengan Dopan dengan. Ega tidak berkomentar, dia memilih untuk tenang dan mendengarkan.
“gua iri sama Ega, Ze. Gua iri dari cara lo mandang Ega, gua iri cara lo kasih perhatian ke Ega. Gua iri liat kalian sama – sama. Gua cemburu Ze” ucap Dopan tegas
“terus gua harus kayak mana?”
Diam. Tak ada yang bisa mengambil keputusan, mereka semua diam dalam pikiran masing – masing. Dua menit beralalu Dopan kembali mengeluarkan suara.
“kalian udah jadian?”
Pertanyaan itu membuat Ega dan Zea saling pandang, bingung harus bicara apa.
“keliatanya udah” Dopan menjawab sendiri dengan pasrah
***
‘Ze, apa lo bahagia bareng sama Ega? Apa sekarang lo udah nemuin orang lain yang ngertiin lo lebih dari gua. Apa kedekatan lo sama Ega bakal bikin lo lupa sama gua? Apa gak cukup dengan ada gua di kehidupan lo? Apa cara gua selama ini untuk ngertiin lo masih kurang? Apa yang harus gua lakuin kalo lo kayak gini Ze? Apa harus ada Ega diantara kita?’
‘gua masih gak rela hubungan kita bakal kedatangan anggota baru. Gua sayang sama lo Ze. Buat gua lo segalanya’
‘lo temen gua, lo sahabat gua, lo belahan jiwa gua, lo adek gua, lo kembaran gua, lo segala nya buat gua’
***
“kapan sih tepatnya kita jadian?”
Zea mengernyitkan dahi.
“biar enak kalo kita mau anniversary, tanggal bulannya yang jelas gitu”
Zea diam, hanya mendengarkan, tak bergerak.
“tapi gak apa apa, temen – teman gak bakal minta jatah traktiran kalo kita gak anniversary” Ega tersenyum bahagia dengan ucapannya sendiri.
Zea masih tetap diam dan memandang hamparan rumput hijau segar yang ada di taman. Rumput itu masih basah menyisakan tetesan air hujan, membuat rerumputan semakin terlihat segar. Aroma rumput dan tanah yang terkena air hujan, memanjakan hidung.
Zea meluruskan kaki nya ke depan, menarik Ega untuk merebahkan kepala di atasnya. Ega menurut, memandang ke wajah Zea yang basah karena hujan. Saat hujan turun mereka hanya berteduh  di bawah pohon yang ada disekitar taman. Di saat hujan menyisakan gerimis, mereka memutuskan untuk keluar dari persembunyian dan duduk di padang rumput.
Tetesan – tetesan gerimis masih menemani mereka, Ega menutup mata untuk merasakan gerimis yang jatuh di wajahnya. Zea tetap memandang ke depan dengan tenang, tangannya menggenggam tangan Ega dengan lembut. Mendung setelah hujan – lembab dan lembut.
***
“jadi selama ini, kalian pacaran apa gak?”
“yang pasti kami deket”
“lo sama gua juga deket Ze, terus kita pacaran gitu? Apa jangan- jangan sebenernya kita selama ini emang pacaran, terus Ega ini selingkuhan lo dari gua?”
“bukan gitu”
“jadi?”
“di mata gua, lo itu sodara gua, dan Ega itu laki – laki”
“jadi gua bukan laki?”
“coba lo pahamin deh An”
“teori ada ‘penghangat ruangan’ di badan lo?”
Zea mengangguk pelan dengan yakin.
“jadi, gua bener – bener harus ngelerain lo sama Ega nih”
“gua segalanya kan An, buat lo”
“gua bakal ngelakuin apa aja buat lo, gua bakal jadi apa aja buat lo” Dopan menimpali penuh keyakinan dan kelembutan
“gua Cuma masih gak yakin aja, ada yang bakal jadi segalanya buat lo – selain gua”
“lo tetep kok di peran itu, gua Cuma pengen jadi orang yang bener – bener mencintai dia” Ega menimpali ucapan Dopan. Zea memandang Ega dengan senyum yang tulus.
“Ega terus yang dikasih senyum, gua setahun sekali dapet senyum dari lo” ungkap Dopan kesal dengan canda
“gua akan tetep jadi Zea”
“gua tau itu”
“ ya lo tau kan, gimana persaan gua ini. Gua seneng lo sama Ega, tapi gua belum biasa”
Zea merangkul Dopan dengan lembut.
Tepuk tangan memenuhi kelas dengan tiba –tiba, siul – siul juga bersahutan. Tersadar akan hal itu, Zea dan Dopan melepaskan pelukan mereka. Dopan tersenyum malu.
“lo takut kehilangan gua ya, lo cinta banget ya sma gua?”
“idih, gua cuma gak mau ada yang nyakitin lo, gua pengen terus lindungin lo, lo itu lemah. Setelah gua pikir – pikir, ada Ega beban gua berkurang, jadi gua gak perlu pusing”
Mendung setelah Hujan – memberikan kelembutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar