Lembab nya kota tak bisa dihindarkan, hujan yang tumpah
cukup membuat kota berubah suasana. Menyisakan genangan air keruh pada jalan
berlubang. Semua orang yang sejak tadi berteduh, kini mulai melanjutkan
perjalan. Salah satu diantara orang-orang itu ada Zea, gadis berusia 20 tahun,
yang terlihat sama lembabnya seperti suasana kota siang ini. Zea, yang selalu
sendiri, tak banyak bicara, wajah datar, lebih memilih memandang kebawah, rambut
hitam bergelombangnya dibiarkan terurai, kulit sawo matang, dan pandangan mata
nya yang tenang. Dingin dan lembut.
***
“pagi Ze” sapa salah satu teman, sesampainya Zea di kelas.
Dia balas dengan mengangkat tangan kanannya di depan muka.
Mencari tempat duduk yang masih kosong, dan langsung mendaratkan
tubuhnya. Suasana kelas juga lembab, belum banyak penghuni dalam ruangan itu.
Hujan yang membuat para penghuni belum memunculkan diri. Dosen pun yang
seharusnya datang sejak 10 menit yang lalu belum menampakkan diri.
Setelah mendaratkan diri di atas kursi, Zea memilih untuk
menyandarkan punggung ke sandaran kursi – dengan wajah datar – mengetukan jari
telunjuk pada meja dengan pelan. Suara yang dihasilkan dari ketukan jari itu,
senada dengan bunyi sisa hujan yang menetes dari atap dan mendarat permukaan
yang ada di bawahnya.
***
Perkuliahan usai, suara riuh terdengar diseluruh penjuru
kelas. Suara gesekan kursi, obrolan antar teman – dengan topik berbeda disetiap
rombongan, barang jatuh saat dirapihkan, langkah kaki, gesekan sepatu, semua
membaur. Zea menyandangkan tas pada pundak, melangkah pelan – memandang
kebawah, meninggalkan kelas.
Bip bip, nada
dering Zea. Dia merogoh kantung kecil di tasnya, ada panggilan masuk.
DOPAN
called...
“kenapa?” tanya Zea datar, tanpa halo
“buru-buru
amat, gua ada perlu nih sama lo. Balik ke kelas lagi ya, oke.”
Hubungan terputus.
Memasukan hape pada tempatnya, Zea melangkah kembali ke
kelas – dengan wajah datar – tak ada penolakkan atau pun kejengkelan yang tergambarkan
dari ekspresinya.
Sampai kembali ke kelas, Zea memandang sekeliling, mencari
keberadaan Dopan, menghampirinya, dan bediri tepat di depan meja Dopan. Dopan
mendongak dari aktifitasnya mencoret-coret kertas.
“udah jauh? Kok lama sampe ke sini nya?”
“tangga setelah koridor” jawab Zea datar
Dopan mengangguk-angguk, lalu dengan cepat menyodorkan
kertas yang sejak tadi dia coret-coret.
“tugas tambahan gua, karena gak masuk kemaren. Gua baru
inget kalo itu harus dikirim lewat email
sekarang. Bantuin gua ya” tangan Dopan menelangkup memohon.
Kertas yang berisikan coretan itu kini berada di tangan Zea.
Dia mengambil salah satu kursi, dan mendekat ke meja Dopan. Membaca soal yang
diberikan, diam sejenak – wajah tetap datar – melihat kearah Dopan, lalu mulai
menuliskan rangkaian kata dengan rapih – pada kertas baru.
Dopan pria jangkung, putih, dengan rambut lurus agak pirang.
Orang yang bisa mengimbangi pribadi Zea. Dia pria yang ceria, selalu banyak
bicara untuk mengisi diamnya Zea. Dopan
selalu berusaha untuk melakukan apa pun bersama Zea.
Sepuluh menit berlalu, kelas sudah mulai sepi. Hanya ada
Dopan, Zea dan tiga teman mereka – dengan kegiatan mereka. Zea masih menuliskan
rangkaian kata, kertas hvs ukuran A4,
yang awalnya masih putih bersih, kini penuh dengan tulisan tangan Zea. Dia
belum juga berhenti, hingga membalik halaman. Setelah sekian menit, dia
berhenti di setengah halaman. Memandang sebentar tulisannya, lalu menyerahkan
pada Dopan – dengan wajah datar.
Kini wajah Dopan berseri-seri, melihat kertas penuh tulisan
itu. Tersenyum bahagia memandang Zea, dan kembali memandangi kertas penuh
tulisan Zea. Zea beranjak dari tempat duduk nya dan bersiap untuk pulang, lagi.
“eh, mau kemana?” Dopan bertanya dengan nada terkejut.
“pulang” Dopan diam sejenak mendengar jawaban Zea, tapi
selanjutnya dia menangguk-angguk paham.
“makasih ya” ucap Dopan sambil tersenyum bahagia, kelegaan
kentara pada wajahnya.
“kenapa ditulis di kertas dulu, kalo tugas nya dikirim lewat
email?” tanya Zea datar. Dopan memandang Zea dengan senyum yang tanggung,
antara bahagia dengan tugasnya “yang
sudah kelar” dengan kalimat tanya dari Zea.
“Zee... kenapa gak ingetin dari tadi? Kenapa baru sekarang?
Lo sengaja ya?” Dopan mengeluh lemah setelah paham maksud kalimat tanya Zea.
Zea hanya mengedikkan pundak – tetap dengan wajah datar.
Dopan mendesah kesal dengan sikap Zea.
***
“boleh
pinjem hape?” tanya Zea pada orang yang ada disampingnya.
Orang
itu menoleh heran, sambil tangan menyerahkan handphone miliknya pada Zea. Zea
mengambil tanpa menunggu lama, menekan keypad-keypad yang ada, lalu menempelkan
hape itu pada telinga. Beberapa detik kemudian, dia menoleh mencari-cari
sesuatu. Orang yang ada di sebelahnya ikut menoleh kesana kemari tanpa tahu
yang dicari. Zea berdiri dari kursinya, masih mencari-mencari. Nada tunggu
telah habis, suara operator menginformasikan pada Zea, dia tak mengubris. Dia
batalkan panggilan, lalu kembali memencet tombol ‘Dial’, menoleh kesana kemari.
Lagi.
“nyari
apa sih?” tanya orang yang tadi ikut mencari-cari
“hape”
jawab Zea datar, sekarang dia berjongkok.
Orang-orang
lain yang ada dikelas itu, yang mendengar percakapan mereka – Zea dan Orang
yang tadi ada disebelah Zea- ikut mencari-cari.
Pada
panggilan ketiga, setalah beberapa detik, Zea melihat sinar dari suatu sudut.
Dia mendekat, dengan handphone tetap di telinga. Setalah dekat, dia yakin itu
handphone miliknya. Tepat berada di belakang kursi, yang sekarang sedang
diduduki seseorang. Zea berjongkok di samping kursi, tangannya menjangkau
handphone. Handphone sudah ada di tangannya, Zea ‘reject’ panggilan pada
handpone nya. Masih terjongkok - dipandangnya handphone itu- layaknya sebatang
emas, dan menampilkan ekspresi baru diwajahnya.
Zea
bangkit dari jongkok nya, dan memandang orang dihadapannya – yang duduk dikursi
tempat handphone nya tersembunyi- mata nya mengerjap heran. Orang itu pun
mengerjapkan mata dengan heran. Zea berlalu dan mengembalikan handphone pada
sang pemilik.
“makasih”
datar Zea mengucapkannya, tapi ada nada tulus di dalamnya.
“sama-sama.
Lain kali hati-hati, jangan teledor”
Zea
balas nasihat itu dengan anggukan.
“Dopan”
santai orang itu mengucapkan nama, memperkenalkan diri.
“Zea”
***
“An, gua hari ini perform
di Cafe La Cita. Dateng ya”
“asik,
jadi gua malem mingguan sama lo dong. Siap gua pasti dateng. Jangan lupa
sekalian ditraktir, gua siapin perut kosong nih...”
Zea memutuskan sambungan, suara Dopan terputus. Zea mendesah
heran pada Dopan.
‘Satu
kalimat gua dan Dopan bakal bikin satu paragraf’ batin
Zea.
***
Dopan melambai pada Zea yang sudah ada di atas panggung. Zea
balas dengan anggukan dan tangan kanan terangkat. Zea terkejut saat melihat
ternyata Dopan tidak datang sendiri, dia bersama beberapa orang – teman sekelas
kami.
Beberapa menit kemudian, Zea menyapa seluruh pengunjung.
Setelah sapaan itu, Zea menghampiri grand piano berwarna hitam dan duduk di
depannya. Dua detik kemudian, jari-jarinya mulai menyentuh tuts-tuts dengan gemulai. Memainkan nada-nada merdu, lembut,
menenangkan. Semua pengunjung merasakan ketenangan, dan merasakan indahnya
melodi yang dihasilkan. Zea memainkan dua lagu yang indah dengan keindahan
pula.
Tepuk tangan memenuhi ruangan setelah Zea menyelesaikan
permainannya. Memberi salam penutup pada pengunjung dan berjalan menuruni
panggung. Menghampiri meja Dopan dan beberapa teman, semakin dekat, membuat Zea
semakin gugup. Zea sempat gugup, mengetahui Dopan tidak sendirian, tapi saat
sudah menyentuh tuts piano semua
sirna. Sekarang, tak ada tuts piano
yang mampu menenangkannya, dia hanya terus berjalan dan berusaha bersikap
biasa.
“ini dia pianis kita, Zea” Dopan memperkenalkan dengan
berlebihan, dan disambut tepuk tangan kecil dari mereka – takut mengganggu
pengunjung lain – dan membuat Zea memberikan anggukan untuk mereka – ekspresi
datar.
“gua gak nyangka lo bisa maen piano gitu” komentar Ron,
cowok playboy di kelas
“lo udah lama bisa maen alat musik itu?” Wita bertanya penuh
antusias
“lo yang gak pernah
komunikasi sama kita” Dini menimpali
“lo yang tau-tau dateng, tau-tau pulang” Ron kembali
berkomentar
Komentar mereka terus memborbardir, dengan decakan kagum
atau juga komentar yang tidak berhubungan sama sekali. Zea melihat Dopan yang
hanya cengar-cengir, dan Zea hanya bisa berpaling dari satu orang ke yang lain
untuk meladeni ucapan mereka. Wajah datar terpancarkan, tanpa membuka mulut,
Zea meladeni mereka dengan menoleh dari satu orang ke yang lain.
“mau pesen apa?” akhirnya Zea mengeluarkan suara setelah mereka
behenti berkomentar dan memanggil pelayan.
Mereka memesan makanan, Zea memperhatikan mereka satu
persatu. Zea memandangi Dopan yang ada disebelah kanannya, menampilkan ekspresi
penuh tanya, Dopan membalasnya dengan senyuman senang.
Zea kembali memperhatikan temannya satu persatu, yang belum
pernah dia lakukan di kelas. Meskipun Zea jarang berkomunikasi dengan
teman-temannya, dia cukup tau nama mereka semua – meskipun tak pernah dia
ucapkan nama-nama itu. Saat Zea berada dikelas, jika membutuhkan teman, dia
akan langsung menghampirinya – dan tak menyebut namanya- Zea akan langsung
berdiri di depan orang itu lalu berbicara atau menyenggol pundaknya lalu
berbicara.
“walaupun rambut kamu di ikat, tetap indah ternyata”
Zea menoleh mendengar komentar dari orang yang ada di sebelah
kiri. Zea mengerjap heran kearah orang itu, orang itu hanya balas memandang
Zea. Zea semakin menolehkan kepalanya pada orang itu, dan orang itu memamerkan
senyumnya.
“Ega, lo mau pesen apa?” tanya Dopan pada orang di sebelah
kiri Zea. Yang membuat Zea menghilangkan keheranannya sesaat.
“kita harus lebih kenal lo nih. Siapa yang sangka ‘cewek es’
kelas kita, berubah jadi bunga yang cantik kalo lagi main piano” ucap Rio
dengan santai.
Mendengar ucapan Rio, yang lain tertawa dan menyetujuinya.
***
sekarang Zea berada di kantin bersama beberapa teman – yang
menonton penampilan Zea – menikmati makan siang, yang dipenuhi dengan candaan
dan tawa – kecuali dari Zea. Semenjak kehadiran mereka di cafe, membuat mereka sering mengajak Zea makan bersama dan
mengobrol bersama. Bahkan beberapa kali mereka menyempatkan diri untuk
menyaksikan penampilan Zea, dan sudah berlansung dua bulan ini. Secara tidak
langung kedekatan terjalin.
Dopan senang dengan perubahan yang dijalani Zea. Selama ini
hanya Dopan yang terlihat dekat dengan Zea, sekarang sudah banyak teman yang
bergabung. Sikap diam Zea membuat teman yang lain menjaga jarak dengan nya.
Tapi sekarang sudah banyak yang bisa mengerti pribadi Zea yang diam.
Senyum Dopan mengembang melihat keberadaan Zea bersama di
lingkungan barunya, meskipun belum maksimal, tapi ini lah Zea. Tak ada yang
bisa merubah pribadinya, diam.
“Ze, nti pulang sama gua ya” ajak Dopan, yang dari nadanya
tidak memerlukan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Zea mengangguk pelan.
“kalian berencana pergi ke suatu tempat?” tanya Ega dengan
hati-hati
“iya, gua kangen berduaan sama Zea” senyum Dopan merekah.
“berduaan?” suara Ega lirih
“mengulang masa-masa yang tadinya cuma gua yang Zea punya”
jawab Dopan dengan jenaka, sambil merangkulkan tangannya pada pundak Zea, tanpa
ada penolakan dari Zea.
***
“kemaren kemana aja sama Dopan?”
Zea menoleh kesumber suara, dan mengerjap heran.
“kerumah Dopan” singkat
“ngapain?” ada rasa penasaran dan panik di dalam tanya nya
“dijelasin semua?” Zea balik tanya
“global nya aja”
“ngobrol”
Dia kecewa dengan jawaban Zea.
“yang lebih spesifik lagi”
Zea mengernyit sebentar kearahnya.
“ngrobrol, makan, nonton film, tidur”
“nonton film? Tidur?” terkejut
“spesifiknya, nonton
film kartun, ngobrol untuk penampilan besok, baru tidur entah mimpi apa”
Ekspresi penasaran dan khawatir terpancar saat Zea menoleh
kearah nya. Entah karena apa, tapi Zea melanjutkan ucapannya – untuk
memperjelas.
“tidur di kamar mba nya, Dopan gak tau kemana”
Senyum memancar dengan kelegaan dari Ega, tanpa disadari Zea
menampilkan ekspresi baru. Ega mengerjap heran ke arah Zea, diikuti dengan Zea
yang juga mengerjap heran.
Entah sejak kapan Zea merasa ada yang beda saat bersama Ega,
orang yang saat ini ada disamping nya. Tatapannya yang tenang, wangi nya yang
selalu segar, wajah nya yang menampilkan kecerdasan dan ketegasan.
“hubungan kalian itu apa sih?”
“banyak”
“maksudnya?”
“banyak ungkapan untuk jelasin hubungan kami”
Ega merasa cemburu dengan ucapan Zea.
***
Zea merasa terganggu dengan pandangan orang yang ada di
sebelahnya. Beberapa waktu berlalu masih bisa ditoleransi, tapi frekuensi dia
menoleh ke arah Zea makin sering. Zea menoleh berusaha mengangkap pandangan
orang yang ada di sebelahnya, tapi dia menghindar. Dua menit kemudian, Zea
menoleh secepat mungkin, tapi orang itu tetap menghindari pandangan Zea. Karena
sudah merasa frustasi Zea memilih untuk menoleh kearahnya terus menerus, dan
memandangi dia yang tertunduk memandangi makanan di depannya. Satu menit berlalu
– dua menit berlalu – tiga menit berlalu – dia tidak kuat, mengangkat wajah dan
menatap Zea. Dia menatap dalam kemata Zea, Zea yang tidak siap, mengerjap
beberapa kali karena kaget dan berusaha mengontrol diri.
“kenapa waktu itu yang dipinjem hape Dopan bukan aku?”
pertanyaannya lembut dan sarat rasa penasaran.
Zea bingung dengan maksud pertanyaann itu, sambil otak nya
bekerja dan menemukan jawabannya.
“karena Dopan sejajar barisannya”
“Dopan itu selang dua kursi dari tempat kamu, sedangkan
kearah aku satu kursi” balasnya masih dengan penasaran.
Zea mencoba mengingat-ingat kejadian hari itu. Benar saja,
di hari itu Zea, Dopan dan Ega berada dibarisan paling belakang. Selang dua
kursi di sebelah kiri Zea ada Dopan, selang satu kursi di sebelah kanan ada Ega.
Dan Zea coba mengingat lagi kegiatan mereka. Dopan sedang santai memainkan pena
di atas kertas dengan sembrono, sedangkan Ega fokus membaca buku yang ada di
atas meja nya.
“kamu kan lagi baca buku waktu itu” belaku scepatnya
Ega mencoba mengingat, dan dia mengangguk pelan.
Ega mendesah pelan, tapi Zea bisa mendengar nya dan langsung
menoleh ke arahnya.
“tapi gak apa apa, kalo kamu pinjem hape aku, terus liat
kamu gupek liat sana – sini pasti ikutan cari. Nah,kalo aku ikut cari, dan kamu
nemuin hape itu terus posisi aku di belakang kamu kaya Dopan waktu itu. Pasti
aku gak bakal liat senyum kamu” dengan santai dan lembut Ega berucap tanpa
melihat kearah Zea, hanya menerawang kedepan seperti sedang menggambarkan apa
yang diucapkannya.
Zea terkejut dengan ucapan yang dilontarkan Ega.
“senyum? Aku senyum?” Zea sendiri tidak ingat
Ega menangguk yakin, dan kini menoleh kearah Zea. Zea
langsung merasa lemas melihat tatapan Ega, yang memberi keyakinan atas
ucapannya – tatapan tulus dan sebenar- benarnya.
Tatapan tulus dan sebener-benar nya yang Ega tampilkan,
setiap kali membuat pernyataan dan berusaha meyakinkan Zea keabsahannya. Akan
membuat Zea benar-benar merasa lemas, terpesona dan terhipnotis.
***
Hujan sudah reda setelah beberapa menit mengguyur kota ini, dan
membuatnya nampak lembab, ada air dimana-mana. Hari itu Zea dan Ega pergi ke
toko alat musik, dan harus berjalan kaki untuk menuju parkiran kendaraan
mereka. Hujan yang tadi menghalangi kepulangan mereka, sekarang sudah mereda.
“pendiam, berekspresi datar, dingin, rambut hitam yang
selalu terlihat segar, indah – bagai mendung sesudah hujan - dingin, redup tapi
lembut” ucap Ega dengan lembut sambil menggandeng tangan gadis di sebelah nya.
Menatap kearah gadis itu sebentar dengan tersenyum. Berjalan keluar dari depan
ruko tempat mereka berteduh, tetesan gerimis pun menyambut mereka dengan
lembut.
Zea yang mendapat tatapan itu, terpana, dan membiarkan tangan
yang menggandengnya, membawanya. Kehangatan menjalar ditangan Zea. Gerimis
kecil yang masih tersisa menyentuh tangan mereka, membuat mereka makin
menikmati kebersamaan itu.
***
“jadi, bukan gua yang ngerubah hati lo?” tanya Dopan
tiba-tiba.
“gua pikir, lo udah nyaman sama gua. Gua pikir, cuma gua
yang bener-bener bisa ngertiin lo. Gua pikir, lo bakal selalu sama gua. Gua
pikir, huh” Dopan mendesah lemah, dengan perubahan hubungan dia dan Zea.
Zea tetap bergeming sambil menatap ke depan. Melihat kearah
dosen yang sedang menuliskan rumus dan menjelaskan dengan semangat. Dopan yang
melihat Zea tidak menggubris ucapannya, merasa kesal, dan memprotes.
“Ze, denger gak sih?!” ucap Dopan dengan kesal dan sedikit
keras
“KAMU YANG DENGER GAK PENJELASAN SAYA?!!” gertak dosen kami.
Dopan kaget dan panik, dia diam tak menjawab, hanya
memandang kebawah dengan sedikit melirik ke arah dosen. Beberapa detik kemudian
perkuliahan dilanjutkan, Dopan semakin tidak semangat, dia sandarkan diri dan
mencoret-coret pada kertas dengan kacau.
***
Cafe de
Amor, Zea akan tampil dan menghibur pengunjung dengan permainan
piano nya. Dopan datang dengan setengah hati, karena tau Ega juga datang untuk
menyaksikan penampilan Zea. Malam ini Zea menggunakan dres berwarna krem,
membuat dia terlihat lembut. Alunan merdu yang dihasilkan permainan piano nya
mendukung keindahan Zea berada di depan gran piano.
“apa yang lo suka dari Zea?” tanya Dopan pada Ega yang
tenang melihat kearah Zea. Pertanyaan itu membuat Ega menoleh dan mengangkat
alis dengan pandangan bertanya.
“gua cuma tanya aja, gak di jawab juga gak papa” Dopan
berusaha meralat, meskipun benar-benar mengharapkan jawaban. Dopan melirk ke
arah Ega yang kembali melihat ke arah Zea. Dopan gelisah memainkan jari
telunjuk nya pada bibir gelas di hadapannya.
“mendung setelah hujan” Ega tiba-tiba berkata dengan lembut,
masih sambil memandang Zea di depan sana. Dopan mengernyitkan alis, karena tak
paham juga samar mendengar ucapan Ega.
“Zea itu, kayak mendung setelah hujan, itu menurut gua”
jawab Ega santai penuh kehangatan
Kata-kata Ega membuat Dopan terkejut, secara tiba-tiba dia
bisa merasakan suasana mendung setelah hujan itu.
“jadi
lo beneran suka ya sama Zea. Oke kalo gitu, ternyata emang lo yang lebih ngerti
Zea dibanding gua. Yang gua tau Zea itu, anak cewek yang butuh perhatian. Dan
gua pikir selama ini gua udah bisa menuhin semua keinginan dia, dengan selalu
ada buat dia. Bikin dia kenal sama teman yang lain, bikin dia lebih banyak
kumpul bareng temen. Ternyata bukan itu yang dia mau. Zea tetep Zea, pribadi
yang dingin tapi lembut. Jadi itu yang lo baca dari Zea, Ga”
“gua yang udah lebih lama kenal Zea, deket sama Zea. Gak
pernaha bisa ngerasain sedalem itu Ga” suara Dopan tenang, tapi gelisah di
dalam.
“gua juga gak tau kenapa bisa berpikiran kayak gitu” Ega
tersenyum.
Dopan semakin gelisah memutarkan jari nya di bibir gelas,
sesekali dia angkat gelas itu dan diputar dengan gelisah juga. Zea menghampiri mereka
dan langsung duduk. Mengambil gelas yang ada di tangan Dopan dan langsung
meminumnya.
“gak makan?” Zea tanya santai
“tunggu kamu” Ega menjawab
“mau makan apa?” tanya Dopan berusaha santai
“sate” datar Zea berkata mengarah pada Dopan
“oke, sate tiga. Gimana?”
Ega mengangguk setuju dengan saran Dopan.
***
Hujan yang turun besar – besaran meninggalkan kelembaban. Kelembaban yang dinikmati Zea dalam diamnya. Kelas sepi, banyak yang memilih untuk tidak hadir, dan sepertinya tak akan ada perkuliahan. Sudah beberapa hari Dopan yang senang berbicara saat bersama Zea, kini hanya ikut diam. Dua mahasisiwa masuk kelas dengan rambut yang sedikit basah. Selang beberapa menit, datang Ega dengan rambut yang basah, dan tetesan air hujan yang masih menempel pada jaket nya. Senyum mengembang melihat ada Zea dan Dopan dalam kelas, berjalan menghampiri mereka sambil menahan dingin.
Hujan yang turun besar – besaran meninggalkan kelembaban. Kelembaban yang dinikmati Zea dalam diamnya. Kelas sepi, banyak yang memilih untuk tidak hadir, dan sepertinya tak akan ada perkuliahan. Sudah beberapa hari Dopan yang senang berbicara saat bersama Zea, kini hanya ikut diam. Dua mahasisiwa masuk kelas dengan rambut yang sedikit basah. Selang beberapa menit, datang Ega dengan rambut yang basah, dan tetesan air hujan yang masih menempel pada jaket nya. Senyum mengembang melihat ada Zea dan Dopan dalam kelas, berjalan menghampiri mereka sambil menahan dingin.
“kalian udah dari tadi?”
“setengah jam yang lalu” ucap Zea datar tanpa menoleh. Ega
mengangguk sambil tersenyum dan memilih untuk duduk di samping Dopan. Dopan tak bergeming akan kehadiran Ega, dia
masih dalam diam.
“hah...” tanpa Dopan disadari, membuang nafas dengan keras.
Ega dan Zea menoleh kearahnya bersamaan, tapi Dopan tidak
merasakan tatapan mereka, dia masih asik dengan diamnya. Ega menatap Zea penuh
tanya, Zea hanya membalas tatapan Ega dengan datar dan kembali melihat kearah
Dopan. Zea menyenggol lengan Dopan, dia terkejut dan langsung menoleh dengan
tatapan bingung.
“kenapa?” kalimat itu datar, tapi tulus diucapkan oleh Zea
“kenapa?” Dopan justru balik bertany dengan keheranan
“kamu kayak nya banyak fikiran?” Ega menimpali
“gua?” tanya Dopan sambil menoleh pada Ega
Ega dan Zea mengangguk dengan kompak.
“ah, gak kok cuma capek doang karena hari ini panas banget”
Dopan asal menjawab dan berusaha santai.
“di luar hujan An” Zea bingung
“lo yakin gak apa apa Do?” Ega ikut menimpali
“hah, hujan ya? Oh iya, maksud gua dingin, iya bener dingin”
“lo aneh”
“gua? Aneh apanya sih Ze”
“sikap lo”
“kayaknya biasa aja, lo kali yang mikirnya aneh-aneh”
“lo lebih diem”
“gua pengen jadi pendiem juga kayak lo” dengan santai dan
berusaha diberi kesan canda
“gua gak suka”
“gua gak minta lo untuk suka, gua Cuma pengan kayak gini
aja”
“marah sama gua?”
“kenapa harus marah, lo ngerasa bikin salah gak sama gua?”
“orang suka gak tau suka bikin salah”
“yaudah, anggep aja lo gak ada salah, kalo pun lo ada salah”
“gua gak tenang”
“cerewet banget sih Ze, gua lagi pengen diem, gak boleh.
Jadi yang boleh diem Cuma lo, terus bikin cowok ini terpesona sama diem lo itu,
sampe jatuh cinta. Dan sekarang lo juga jadi deket sama dia, dan lupa sama gua.
Atau mungkin lo malah udah jadian sama dia”
“dan lo juga kayak nya suka sama dia, lo keliatan seneng
kalo lagi sama dia. Apa lo udah gak butuh gua lagi, apa lo udah gak mau deket
sama gua lagi, apa lo...”
Zea menutup mulut Dopan yang masih ingin berbicara. Dopan
diam dan ditatapnya perempuan yang ada di depannya dengan lembut. Zea menatap
Dopan dalam diam untuk beberapa detik.
“cemburu?”
Dopan melotot kaget mendengar pertanyaan dari Zea. Ega yang
menyaksikan tingkah dua orang itu hanya tersenyum lucu. Dopan mengangguk
menjawab pertanyaan Zea.
“jadi?”
Dopan lepaskan dekapan tangan Zea
“gak tau, gua bingung”
“kalian mau ngobrol berdua aja? Gua keluar dulu ya?” Ega
mulai merasa tidak nyaman
“gak usah, disini aja”
“tapi Do, lo yakin gak pengen nyelesaiin ini berdua aja?”
Dopan menggelang yakin.
“apa sih Ze, yang lo suka dari Ega?”
Ega terkejut mendengar pertanyaan Dopan pada Zea. Zea hanya
memandang ke arah Dopan, dengan sesekali melirik kearah Ega.
“kenapa sih, harus Ega yang bikin lo ngerasa lebih nyaman?
Emang gua aja gak cukup?”
Kelas kini semakin lembab dengan pembicaraan mereka.
Beberapa orang mencuri denar pembicaraan mereka, sambil terkadang saling
berbisik. Tapi mereka tetap melanjutkan komunikasi itu, tanpa terganggu
kehadiran orang yang ada disekitar.
“An..” Zea lembut berbicara
“lo gak suka ya kalo cuma gua yang ada buat lo?”
Zea diam, tidak menjawab pertanyaan itu, tapi tangannya
menggenggam lengan Dopan dengan. Ega tidak berkomentar, dia memilih untuk
tenang dan mendengarkan.
“gua iri sama Ega, Ze. Gua iri dari cara lo mandang Ega, gua
iri cara lo kasih perhatian ke Ega. Gua iri liat kalian sama – sama. Gua
cemburu Ze” ucap Dopan tegas
“terus gua harus kayak mana?”
Diam. Tak ada yang bisa mengambil keputusan, mereka semua diam
dalam pikiran masing – masing. Dua menit beralalu Dopan kembali mengeluarkan
suara.
“kalian udah jadian?”
Pertanyaan itu membuat Ega dan Zea saling pandang, bingung
harus bicara apa.
“keliatanya udah” Dopan menjawab sendiri dengan pasrah
***
‘Ze, apa lo bahagia bareng sama Ega? Apa sekarang lo udah nemuin orang lain yang ngertiin lo lebih dari gua. Apa kedekatan lo sama Ega bakal bikin lo lupa sama gua? Apa gak cukup dengan ada gua di kehidupan lo? Apa cara gua selama ini untuk ngertiin lo masih kurang? Apa yang harus gua lakuin kalo lo kayak gini Ze? Apa harus ada Ega diantara kita?’
‘Ze, apa lo bahagia bareng sama Ega? Apa sekarang lo udah nemuin orang lain yang ngertiin lo lebih dari gua. Apa kedekatan lo sama Ega bakal bikin lo lupa sama gua? Apa gak cukup dengan ada gua di kehidupan lo? Apa cara gua selama ini untuk ngertiin lo masih kurang? Apa yang harus gua lakuin kalo lo kayak gini Ze? Apa harus ada Ega diantara kita?’
‘gua
masih gak rela hubungan kita bakal kedatangan anggota baru. Gua sayang sama lo
Ze. Buat gua lo segalanya’
‘lo
temen gua, lo sahabat gua, lo belahan jiwa gua, lo adek gua, lo kembaran gua,
lo segala nya buat gua’
***
***
“kapan sih tepatnya kita jadian?”
Zea mengernyitkan dahi.
“biar enak kalo kita mau anniversary,
tanggal bulannya yang jelas gitu”
Zea diam, hanya mendengarkan, tak bergerak.
“tapi gak apa apa, temen – teman gak bakal minta jatah
traktiran kalo kita gak anniversary”
Ega tersenyum bahagia dengan ucapannya sendiri.
Zea masih tetap diam dan memandang hamparan rumput hijau
segar yang ada di taman. Rumput itu masih basah menyisakan tetesan air hujan,
membuat rerumputan semakin terlihat segar. Aroma rumput dan tanah yang terkena
air hujan, memanjakan hidung.
Zea meluruskan kaki nya ke depan, menarik Ega untuk
merebahkan kepala di atasnya. Ega menurut, memandang ke wajah Zea yang basah
karena hujan. Saat hujan turun mereka hanya berteduh di bawah pohon yang ada disekitar taman. Di
saat hujan menyisakan gerimis, mereka memutuskan untuk keluar dari
persembunyian dan duduk di padang rumput.
Tetesan – tetesan gerimis masih menemani mereka, Ega menutup
mata untuk merasakan gerimis yang jatuh di wajahnya. Zea tetap memandang ke
depan dengan tenang, tangannya menggenggam tangan Ega dengan lembut. Mendung
setelah hujan – lembab dan lembut.
***
“jadi
selama ini, kalian pacaran apa gak?”
“yang
pasti kami deket”
“lo
sama gua juga deket Ze, terus kita pacaran gitu? Apa jangan- jangan sebenernya
kita selama ini emang pacaran, terus Ega ini selingkuhan lo dari gua?”
“bukan
gitu”
“jadi?”
“di
mata gua, lo itu sodara gua, dan Ega itu laki – laki”
“jadi
gua bukan laki?”
“coba
lo pahamin deh An”
“teori
ada ‘penghangat ruangan’ di badan lo?”
Zea
mengangguk pelan dengan yakin.
“jadi,
gua bener – bener harus ngelerain lo sama Ega nih”
“gua
segalanya kan An, buat lo”
“gua
bakal ngelakuin apa aja buat lo, gua bakal jadi apa aja buat lo” Dopan
menimpali penuh keyakinan dan kelembutan
“gua
Cuma masih gak yakin aja, ada yang bakal jadi segalanya buat lo – selain gua”
“lo
tetep kok di peran itu, gua Cuma pengen jadi orang yang bener – bener mencintai
dia” Ega menimpali ucapan Dopan. Zea memandang Ega dengan senyum yang tulus.
“Ega
terus yang dikasih senyum, gua setahun sekali dapet senyum dari lo” ungkap
Dopan kesal dengan canda
“gua
akan tetep jadi Zea”
“gua
tau itu”
“ ya lo
tau kan, gimana persaan gua ini. Gua seneng lo sama Ega, tapi gua belum biasa”
Zea
merangkul Dopan dengan lembut.
Tepuk
tangan memenuhi kelas dengan tiba –tiba, siul – siul juga bersahutan. Tersadar
akan hal itu, Zea dan Dopan melepaskan pelukan mereka. Dopan tersenyum malu.
“lo
takut kehilangan gua ya, lo cinta banget ya sma gua?”
“idih,
gua cuma gak mau ada yang nyakitin lo, gua pengen terus lindungin lo, lo itu
lemah. Setelah gua pikir – pikir, ada Ega beban gua berkurang, jadi gua gak
perlu pusing”
Mendung setelah Hujan – memberikan kelembutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar