Beharap mendapat inspirasi, aku pandangi layar
putih dihadapanku. Dengan hiasan biru disampingnya dan kursor yang terus
berkedip dipinggir kiri lembar kerja. Entah apa yang ada didalam otak, jika
terdapat LCD yang disambungkan pada
otak mungkin akan ada begitu banyak tampilan kacau tak berarti. Tak ada yang
terfokus, bernilai, bermakna, bertujuan atau apalah itu. Saat ini karirku
sebagai penulis seperti tak ada arti, setelah semuanya. Kekacauan ini dia yang
menimbulkan, aku akan menyalahkannya, aku akan egois. Entah apa nanti yang
dipikir orang, yang pasti aku benar-benar menyalahkan dia.
Karena dia aku tak bisa baik dalam berfikir, karena
dia aku tak bisa baik dalam beraktifitas, karena dia aku tak bisa baik dalam
berkomunikasi, karena dia aku tak bisa baik dalam perasaan ini. Semua ini
karena dia, dia dan akan selalu dia. Hingga saatnya nanti akan terus
menyalahkan dia.
Berhiaskan piyama sejak tidur semalam hingga siang
ini, tanpa mandi aku terus bertengger diatas kursi dihadapan meja yang menopang
partner hidupku – notebook. Aku gerakan kesana kemari mouse tak tentu arah, membuat
timbul tenggelam lembar kerjaku, menampikan music player. Open-close, itu yang
aku lakukan pada semua program-program yang ada. Aku ingin menulis saat ini,
tapi tak tahu apa yang akan aku jadikan karya hari ini.
Hari minggu, seharusnya hari ini kami semua
berkunjung kerumah mbah putri, tapi tidak untuk aku yang lebih memilih dirumah.
Gerah mulai keras kurasakan, kipas aku biarkan berputar dengan kencang demi
kenyamananku yang tidak mandi. Dalam sesaat keinginanku berubah, aku ingin
pergi bersama teman-teman meskipun entah kemana. Aku tekan keypad hape dengan
semangat, aku kirim pesan untuk semua. 10 menit menunggu tak juga mendapat
respon, sesaat aku marah tapi kemudian berfikir ini hari minggu, waktu untuk
mereka beristirahat dan bertemu orang-orang yang mereka ingini -- bukan aku.
Bersandar lemas pada kursi kubirakan tangan jatuh
lemas dengan memegang handphone yang juga tak bisa membantu kekesalan dan
kejenuhanku. Berfikir untuk membuka beberapa sosial network, tapi aku urungkan
karena yakin tak akan terhibur. Membuka youtube, melihat beberapa video menarik
juga aku hindarkan -- buffering membosankan.
Mandi mungkin akan membuatku segar dan bisa
berfikir, dengan lemas aku bangkit dan menyambar handuk serta kimono. Berjalan
menuju kamar mandi, sesaat itu melalui jendela aku melihat seseorang didepan
pagar rumahku. Berdiri dengan diam, dari raut wajahnya terlihat berfikir dan
sepertinya sudah sejak lama dia ada disitu, dia terlihat berkeringat. aku
mengenalinya, aku tahu siapa dia, keluar untuk memastikan apa yang dia lakukan.
Terkejut melihat aku keluar dan menghampirinya, menampilkan senyum yang
canggung dia menyapaku. Kami hanya saling senyum tak tahu ingin berkata apa, saling
memiliki kalimat yang ingin diucapkan tapi tak bisa untuk disampaikan. Perasaan
kesal yang terus menghiasi kini hilang entah kemana, malu dan canggung yang
justru kini hadir. Umpatan yang terus aku sampaikan secara tak jelas seperti
tak berlaku lagi. Dia ada disini sekarang, berdiri sambil terus tersenyum
memandangku. Intensitas dia menghembuskan nafas menjadi sering, aku hanya
mengedarkan pandangan tak tentu arah dengan sesekali melihat kearahnya. Aku
melihat keringat menetes dijidatnya, ini siang hari yang terik dan dari merah
wajahnya pasti sudah sejak lama dia berdiri disini. Dia memutuskan untuk
mengeluarkan kalimat pembuka yang diharapkan menjadi percakapan.
“baru mau mandi?” dengan lembut dan senyum
pertanyaan itu tersampaikan. Aku tidak langsung merespon, 3 detik kemudian aku
baru bisa berfikir. Aku perhtikan dari atas hingga bawah badanku, handuk dan
kimono yang aku pegang, rambut yang berantakan, aku langsung panik dan
menghamburkan diri masuk rumah. Aku kacau dan berantakan, sudah jam 2 siang dan
aku masih menggunakan piyama, rambut berantakan, muka yang sepertinya gak kalah
berantakan.
“masuk aja kak, aku mau mandi dulu!” sampai dipintu
aku berteriak sambil terus berlari menuju kamar mandi, tak lagi bisa melihat
apa ekpresinya.
Di kamar mandi aku tidak langsung mandi, aku
memikirkan kejadian tadi. Beberapa menit kemudian aku selesai dan berjalan
menghampirinya. Berusaha santai dan seperti tak terjadi apa-apa, membawakan jus
jeruk dengan sedikit madu kesukaannya.
“marah?” dengan menggeleng yakin aku menjawb
pertayaan itu, padahal sudah jelas sejak kemarin aku uring-uringan. Dengan sedikit menahan malu aku menyesali jawaban
itu. Dia datang kesini merupakan jawaban bahwa kabar yang aku dapat bukanlah
kebenaran, itu yang aku yakini, dan itu janjinya. Mungkin itu yang membuatku
cepat menjawab atau mungkin karena rasaku hingga tak bisa aku memunculkan sikap
marah padanya.
“baru beberapa menit liat kamu, udah dalam bentuk
yang beda” aku heran dengan pernyataanya.
“belum mandi, sekarang udah mandi. Lucu, yang
sekarang cantik” senyum malu tertampilkan pada ekspresiku.
Setelah kalimat yang dia sampaikan itu, sudah lebih
15 menit kami terdiam dengan sesekali dia meminum jusnya. Semakin lama semakin
jelas wajah khawatir yang dia sampaikan. Aku tak bertanya atau mengucapkan
apapun. Menit ke-20 dia kembali mengeluarkan suara.
“aku sayang kamu...” kalimat nya terdengar
terputus, itu membuatku khawatir.
“dan aku rasa aku harus menikah sama...” dia
kembali memutus kalimatnya, aku takut dia akan pergi dan membuat kabar itu
menjadi benar. Suara detak jam jelas layaknya kisah-kisah dalam novel,
ketakutan timbul dan menjalar keseluruh tubuh.
“aku menikah sama kamu” yakin dan pasti dia
mengucapkannya, aku terdiam tak bisa berfikir. Tak bergerak sedikitpun, aku dan
dia tetap pada posisi masing-masing. Dia berada disamping menghadapku, duduk
dengan wajah khawatir dan menunggu sesuatu. aku memeluknya dengan cepat,
menangis dalam pelukannya tanpa mengucapkan apapun. Dia balas memelukku dan
berkata,
“makasih” lembut dia mengeluarkan ucapannya dan aku
balas anggukan sambil tetap menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar