Selasa, 24 April 2012

A-K-U


Beharap mendapat inspirasi, aku pandangi layar putih dihadapanku. Dengan hiasan biru disampingnya dan kursor yang terus berkedip dipinggir kiri lembar kerja. Entah apa yang ada didalam otak, jika terdapat LCD yang disambungkan pada otak mungkin akan ada begitu banyak tampilan kacau tak berarti. Tak ada yang terfokus, bernilai, bermakna, bertujuan atau apalah itu. Saat ini karirku sebagai penulis seperti tak ada arti, setelah semuanya. Kekacauan ini dia yang menimbulkan, aku akan menyalahkannya, aku akan egois. Entah apa nanti yang dipikir orang, yang pasti aku benar-benar menyalahkan dia.
Karena dia aku tak bisa baik dalam berfikir, karena dia aku tak bisa baik dalam beraktifitas, karena dia aku tak bisa baik dalam berkomunikasi, karena dia aku tak bisa baik dalam perasaan ini. Semua ini karena dia, dia dan akan selalu dia. Hingga saatnya nanti akan terus menyalahkan dia.
Berhiaskan piyama sejak tidur semalam hingga siang ini, tanpa mandi aku terus bertengger diatas kursi dihadapan meja yang menopang partner hidupku – notebook. Aku gerakan kesana kemari mouse tak tentu arah, membuat timbul tenggelam lembar kerjaku, menampikan music player. Open-close, itu yang aku lakukan pada semua program-program yang ada. Aku ingin menulis saat ini, tapi tak tahu apa yang akan aku jadikan karya hari ini.
Hari minggu, seharusnya hari ini kami semua berkunjung kerumah mbah putri, tapi tidak untuk aku yang lebih memilih dirumah. Gerah mulai keras kurasakan, kipas aku biarkan berputar dengan kencang demi kenyamananku yang tidak mandi. Dalam sesaat keinginanku berubah, aku ingin pergi bersama teman-teman meskipun entah kemana. Aku tekan keypad hape dengan semangat, aku kirim pesan untuk semua. 10 menit menunggu tak juga mendapat respon, sesaat aku marah tapi kemudian berfikir ini hari minggu, waktu untuk mereka beristirahat dan bertemu orang-orang yang mereka ingini -- bukan aku.
Bersandar lemas pada kursi kubirakan tangan jatuh lemas dengan memegang handphone yang juga tak bisa membantu kekesalan dan kejenuhanku. Berfikir untuk membuka beberapa sosial network, tapi aku urungkan karena yakin tak akan terhibur. Membuka youtube, melihat beberapa video menarik juga aku hindarkan -- buffering membosankan.
Mandi mungkin akan membuatku segar dan bisa berfikir, dengan lemas aku bangkit dan menyambar handuk serta kimono. Berjalan menuju kamar mandi, sesaat itu melalui jendela aku melihat seseorang didepan pagar rumahku. Berdiri dengan diam, dari raut wajahnya terlihat berfikir dan sepertinya sudah sejak lama dia ada disitu, dia terlihat berkeringat. aku mengenalinya, aku tahu siapa dia, keluar untuk memastikan apa yang dia lakukan. Terkejut melihat aku keluar dan menghampirinya, menampilkan senyum yang canggung dia menyapaku. Kami hanya saling senyum tak tahu ingin berkata apa, saling memiliki kalimat yang ingin diucapkan tapi tak bisa untuk disampaikan. Perasaan kesal yang terus menghiasi kini hilang entah kemana, malu dan canggung yang justru kini hadir. Umpatan yang terus aku sampaikan secara tak jelas seperti tak berlaku lagi. Dia ada disini sekarang, berdiri sambil terus tersenyum memandangku. Intensitas dia menghembuskan nafas menjadi sering, aku hanya mengedarkan pandangan tak tentu arah dengan sesekali melihat kearahnya. Aku melihat keringat menetes dijidatnya, ini siang hari yang terik dan dari merah wajahnya pasti sudah sejak lama dia berdiri disini. Dia memutuskan untuk mengeluarkan kalimat pembuka yang diharapkan menjadi percakapan.
“baru mau mandi?” dengan lembut dan senyum pertanyaan itu tersampaikan. Aku tidak langsung merespon, 3 detik kemudian aku baru bisa berfikir. Aku perhtikan dari atas hingga bawah badanku, handuk dan kimono yang aku pegang, rambut yang berantakan, aku langsung panik dan menghamburkan diri masuk rumah. Aku kacau dan berantakan, sudah jam 2 siang dan aku masih menggunakan piyama, rambut berantakan, muka yang sepertinya gak kalah berantakan.
“masuk aja kak, aku mau mandi dulu!” sampai dipintu aku berteriak sambil terus berlari menuju kamar mandi, tak lagi bisa melihat apa ekpresinya.
Di kamar mandi aku tidak langsung mandi, aku memikirkan kejadian tadi. Beberapa menit kemudian aku selesai dan berjalan menghampirinya. Berusaha santai dan seperti tak terjadi apa-apa, membawakan jus jeruk dengan sedikit madu kesukaannya.
“marah?” dengan menggeleng yakin aku menjawb pertayaan itu, padahal sudah jelas sejak kemarin aku uring-uringan. Dengan sedikit menahan malu aku menyesali jawaban itu. Dia datang kesini merupakan jawaban bahwa kabar yang aku dapat bukanlah kebenaran, itu yang aku yakini, dan itu janjinya. Mungkin itu yang membuatku cepat menjawab atau mungkin karena rasaku hingga tak bisa aku memunculkan sikap marah padanya.
“baru beberapa menit liat kamu, udah dalam bentuk yang beda” aku heran dengan pernyataanya.
“belum mandi, sekarang udah mandi. Lucu, yang sekarang cantik” senyum malu tertampilkan pada ekspresiku.
Setelah kalimat yang dia sampaikan itu, sudah lebih 15 menit kami terdiam dengan sesekali dia meminum jusnya. Semakin lama semakin jelas wajah khawatir yang dia sampaikan. Aku tak bertanya atau mengucapkan apapun. Menit ke-20 dia kembali mengeluarkan suara.
“aku sayang kamu...” kalimat nya terdengar terputus, itu membuatku khawatir.
“dan aku rasa aku harus menikah sama...” dia kembali memutus kalimatnya, aku takut dia akan pergi dan membuat kabar itu menjadi benar. Suara detak jam jelas layaknya kisah-kisah dalam novel, ketakutan timbul dan menjalar keseluruh tubuh.
“aku menikah sama kamu” yakin dan pasti dia mengucapkannya, aku terdiam tak bisa berfikir. Tak bergerak sedikitpun, aku dan dia tetap pada posisi masing-masing. Dia berada disamping menghadapku, duduk dengan wajah khawatir dan menunggu sesuatu. aku memeluknya dengan cepat, menangis dalam pelukannya tanpa mengucapkan apapun. Dia balas memelukku dan berkata,
“makasih” lembut dia mengeluarkan ucapannya dan aku balas anggukan sambil tetap menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar